Rektor IPB Paparkan 10 Tantangan Besar Mewujudkan Ketahanan Pangan Indonesia

Rektor IPB University Prof. Dr. Arif Satria memaparkan sepuluh tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sehingga menurutnya kesepuluh tantangan ini harus dijawab dengan pendekatan sistemik dan kolaboratif antara negara, kampus, masyarakat, serta dunia usaha.

Hal ini ia sampaikan dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Silaturahmi Nasional (Silatnas) Majelis Nasional KAHMI di Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Tantangan pertama, ia menyebutkan, produksi dan produktivitas pangan di Indonesia memang belum optimal. Salah satunya pada komoditi beras.

“Produktivitas beras kita memang tertinggi nomor dua di Asia Tenggara setelah Vietnam, namun harga beras di Indonesia justru tertinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Ini menunjukkan ada persoalan pada sisi efisiensi produksi dan tata niaga pangan kita,” ujarnya.

Tantangan kedua ialah perubahan iklim yang semakin nyata dampaknya terhadap sektor pangan. Prof. Arif menjelaskan, setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius dapat menurunkan produksi nasional sebesar 10–22 persen. Bahkan, jika tidak diantisipasi, kopi diperkirakan tidak lagi bisa tumbuh pada tahun 2080.

Isu ketiga yang tak kalah penting ialah terkait lahan pertanian. Ia mengatakan, jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat dari 14 juta menjadi 16 juta dalam satu dekade terakhir, sehingga kepemilikan lahan pun makin sempit. Sementara secara global, dunia diperkirakan kekurangan 300 juta hektar lahan untuk mencukupi kebutuhan pangan pada 2030.

Tantangan keempat, kata Prof. Arif pola makan masyarakat yang belum seimbang dan cenderung tidak sehat. Di mana konsumsi masyarakat didominasi oleh makanan berbasis tepung, gorengan, dan mie instan, sedangkan daging dan buah-buahan masih rendah. 

“Diversifikasi konsumsi yang terjadi justru mengarah ke pangan impor, terutama gandum, yang volumenya melonjak hingga 12 juta ton per tahun,” jelasnya.

Tantangan kelima, lanjut Prof. Arif, terkait tingginya biaya logistik pangan, terutama karena struktur geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan. Biaya distribusi dapat mencapai 20–40 persen dari harga produk.

Ia juga menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor, seperti kedelai dan bawang putih. Padahal, menurutnya, secara teknologi, Indonesia mampu memproduksi sendiri dengan hasil yang jauh lebih tinggi.

“Di IPB, produktivitas kedelai bisa mencapai 4,6 ton per hektare dan bawang putih 23 ton per hektare. Masalahnya terletak pada harga dan insentif pasar,” paparnya.

Isu ketujuh yang juga disoroti Prof. Arif hakni minimnya regenerasi petani, di mana jumlah petani milenial masih di bawah 2 persen. Isu kedelapan yang juga menjadi tantangan serius, tak lain yakni kenaikan harga pangan akibat krisis global.

Tantangan kesembilan adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan nelayan. Menurut Prof. Arif, hal ini tercermin dari nilai tukar mereka yang masih rendah dibandingkan pelaku sektor industri lainnya.

Terakhir, Indonesia juga menghadapi persoalan besar dalam tingginya food loss dan food waste. Bahkan, Prof. Arif menyampaikan, Indonesia berada di peringkat kedua dunia dalam hal food loss dan food waste, dengan angka 300 kilogram per kapita per tahun.

“Kita peringkat dua dunia dalam food waste setelah Arab Saudi. Padahal kalau ini ditekan, kita bisa memberi makan 61 sampai 120 juta orang dan meningkatkan pendapatan negara hingga ratusan juta dolar,” jelasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *