Rektor IPB University yang juga Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Prof. Dr. Arif Satria, menekankan pentingnya transformasi regulasi pangan untuk mewujudkan swasembada yang berkelanjutan. Ia menyebut ada empat arah penting dalam transformasi tersebut.
Hal ini Prof. Arif sampaikan dalam Webinar Nasional bertajuk “Transformasi Regulasi Pangan untuk Mewujudkan Swasembada yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh ICMI Bidang III Iptek, Agromaritim, dan Lingkungan Hidup, Jumat (11/7/2025).
“Pangan saat ini telah menjadi isu yang sangat strategis. Presiden pun memiliki perhatian yang luar biasa terhadap upaya menciptakan suasana pangan yang stabil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, regulasi pangan ke depan harus dirancang untuk menjamin keberlanjutan dari berbagai aspek, termasuk keberlanjutan sistem pangan, keberlanjutan ekologis, serta keberlanjutan ekonomi. Menurutnya, keberlanjutan menjadi kata kunci agar capaian saat ini dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Adapun empat arah penting tersebut, pertama, mendorong pemanfaatan teknologi terkini untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Prof. Arif menyebut teknologi 4.0 sebagai salah satu instrumen yang perlu diakomodasi dalam kebijakan.
“Kita perlu mendorong regulasi yang mendukung penggunaan teknologi kekinian, agar efisiensi dan produktivitas pangan nasional semakin meningkat,” ucapnya.
Kedua, ia menyoroti pentingnya tata kelola pertanian yang inklusif dan sejalan dengan tren global, yaitu pertanian regeneratif. Konsep ini menekankan pada pemulihan dan peningkatan kualitas tanah sebagai basis sistem pangan yang sehat.
Ketiga, Prof. Arif mendorong pengembangan future food dan blue food sebagai bagian dari strategi pangan nasional. Ia menjelaskan, berbagai negara maju sudah mulai berinvestasi pada pangan masa depan untuk menjawab tantangan konsumsi protein.
Bahkan, IPB University sendiri, kata Prof. Arif, telah memiliki riset terkait pengembangan pangan masa depan.
“Pangan masa depan adalah peluang yang harus kita siapkan dari sekarang, dengan mengoptimalkan riset dan inovasi,” tuturnya.
Keempat, ia menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap produk lokal. Ia menyoroti lonjakan impor gandum dari 4 juta ton menjadi 12 juta ton dalam satu dekade terakhir sebagai sinyal perlunya kebijakan substitusi impor berbasis inovasi lokal.
“Diversifikasi pangan kita selama ini masih belum tepat. Justru terjadi pergeseran ke gandum, bukan ke sumber pangan lokal. Maka, transformasi regulasi untuk mendorong substitusi impor perlu segera dilakukan,” jelasnya.

