Di tengah keterbatasan anggaran riset nasional, IPB University justru menjelma menjadi pusat inovasi sekaligus magnet bagi BUMN. Lewat kepemimpinan Prof. Dr. Arif Satria, kampus ini membuktikan bahwa sinergi antara perguruan tinggi dan industri negara bukan sekadar wacana, tapi kenyataan yang berdampak nyata.
Dalam wawancara bersama Men’s Obsession pada Selasa (6/5/2025) di Kampus IPB Dramaga, Prof. Arif mengemukakan bahwa anggaran riset Indonesia yang masih di bawah 0,1 persen dari PDB jauh dibanding negara-negara seperti Thailand, Korea, dan Malaysia, sehingga perlu ada sumber pembiayaan alternatif.
Oleh karenanya, Prof. Arif memberikan solusi strategis agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Indonesia, menjadikan perguruan tinggi sebagai mitra riset dan pengembangan (R&D). Namun menurutnya, dalam hal ini perlu ada langkah strategis lanjutan.
“Perguruan tinggi harus dipetakan kekuatannya secara nasional agar BUMN bisa dengan tepat memilih mitra R&D sesuai kebutuhan mereka,” jelasnya.
Salah satu contoh nyata kerjasama IPB University dengan BUMN adalah pengembangan Precipolm, alat pemupukan presisi untuk kelapa sawit. Alat ini dibuat bersama Bank SMBC dan Pupuk Kalimantan Timur, dan terbukti bisa meningkatkan efisiensi pemupukan hingga 30 persen. Selain itu, IPB juga bekerja sama dengan BULOG dan berbagai BUMN lainnya.
Menurut Prof. Arif, komunikasi adalah kunci penting agar dunia kampus dan dunia industri bisa saling memahami. Ia menyadari bahwa bahasa akademik dan bahasa bisnis sering berbeda. Untuk itu, IPB membangun Science Techno Park, sebagai tempat menampilkan hasil riset sekaligus menjadi jembatan antara peneliti dan pelaku industri.
Di tempat ini, IPB tidak hanya menunjukkan hasil inovasinya, tapi juga membangun ekosistem yang siap dipakai langsung di lapangan. IPB juga dikenal sebagai pelopor pertanian berbasis teknologi 4.0, lewat program Agro-Maritime 4.0 yang menggabungkan AI, IoT, dan robotik di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, dan peternakan.

Prof. Arif punya cita-cita besar menjadikan IPB sebagai pemimpin inovasi di negara-negara selatan (Global South). Ia menggabungkan pendekatan technopreneurship untuk sektor industri dan sociopreneurship untuk masyarakat. Hasilnya adalah visi techno-sociopreneurship, yang ingin membawa inovasi yang bisa dirasakan manfaatnya secara luas.
Untuk mewujudkannya, IPB punya berbagai fasilitas seperti teaching factory, pusat startup, dan inkubator bisnis untuk membantu pelaku usaha berkembang. Beberapa startup hasil binaan IPB bahkan sudah berhasil menembus pasar ekspor, seperti ikan hias dan tanaman tropis.
Capaian IPB juga terasa langsung di masyarakat. Lewat program seperti Data Desa Presisi, One Village One CEO, dan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), IPB telah menjangkau lebih dari 6.600 desa, atau sekitar 8 persen dari total desa di Indonesia.
“Kalau semua berbasis charity, kita akan jadi cost center. Tapi kalau kita ubah jadi business entity, ada sustainability. Dan itu yang kita dorong,” jelas pria yang meraih penghargaan Tokoh Pemberdayaan oleh Rumah Zakat pada 2024 lalu tersebut.

