IPB University menyatakan kesiapannya menjadi pusat pemikiran (think-tank) bagi penguatan kebijakan keluarga dan perlindungan anak di era digital. Terlebih, IPB memiliki program studi Ilmu Keluarga, mulai dari jenjang S1, S2, hingga S3 yang menjadi basis akademik untuk mendukung pembangunan keluarga di Indonesia.
Komitmen ini disampaikan langsung oleh Rektor IPB University, Prof. Dr. Arif Satria, usai kegiatan The 54th Strategic Talks bertema “Sinergi Keluarga dan Negara dalam Perlindungan Anak di Era Digital” yang diselenggarakan di Kampus IPB Dramaga, Kamis (31/7). Kegiatan ini juga dihadiri oleh Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Bapak Wihaji.
“IPB siap berkolaborasi, siap bersinergi, dan siap menyampaikan hasil-hasil penelitian kami kepada Pak Menteri. Karena memang tugas perguruan tinggi adalah melakukan riset, dan hasilnya salah satunya untuk policy brief, memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan sesuai dengan hasil pelatihan yang ada,” ujar Prof. Arif.
Di samping itu, Prof. Arif menyoroti pentingnya ketahanan keluarga sebagai pilar utama kemajuan bangsa. Ia menyebut, pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia, yang dimulai dari pembangunan anak dan keluarga sebagai komponen esensial.
Lebih jauh, ia juga mengingatkan soal dampak negatif algoritma digital terhadap anak-anak. Di mana anak-anak mudah mendapatkan informasi secara digital melalui gawai atau handphone yang mudah diakses.

“Hari ini, banyak anak-anak kita algoritmanya dipengaruhi oleh digital, salah satunya media sosial, yang tersedia dalam handphone. Kapan dan apa saja bisa dicari di sana. Tapi hati-hati, kalau kita tidak hati-hati, algoritma itu bisa berdampak negatif terhadap pikiran anak-anak,” ujarnya.
Dari hasil penelitian, ia memaparkan, saat ini 92 persen anak usia 6–17 tahun sudah menggunakan internet, namun hanya 37 persen di antaranya yang pernah mendapatkan pendidikan digital. Artinya, 63 persen anak belum memiliki pemahaman yang cukup untuk menggunakan media digital secara bijak.
Sementara itu, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, menegaskan pentingnya perlakuan hati-hati terhadap keluarga baru di era digital. Sebab, teknologi diciptakan untuk membantu, bukan merusak.
Ia menyebutkan, 85 persen masyarakat Indonesia telah mengakses internet, dan muncul kekhawatiran karena sekitar 20,9 persen remaja mengalami kesepian dan kehilangan figur ayah, yang salah satunya disebabkan oleh paparan teknologi.
“Saya bukan anti-handphone, saya pecinta teknologi, tapi semoga ini jadi catatan. Saya juga minta masukan dari Beliau (Rektor), selaku akademisi, ide dan gagasannya dari IPB, saya berguru sama beliau. Tugas saya sebagai eksekutor adalah menjalankan apa yang menjadi pemikiran para akademisi,” ucapnya.

